Memang benar kata orang, ketika kita dianggap sebagai tempat berpulang, kita tak selalu diartikan sebagai rumah. Nahkoda-nahkoda memberhentikan kapalnya di pelabuhan. Para sopir berhenti terakhir di terminal. Dan pilot menyelesaikan tugasnya di bandara. Semua mengantar orang-orang pulang. Namun perjalanan tak berhenti di situ. Masih ada kilometer-kilometer lain yang harus ditempuh untuk sampai ke rumah, definisi pulang yang seutuhnya.
Akan kumulai cerita ini dari awal, sebelum metafora-metafora tentang tempat pemberhentian ini ada. Kita bertemu dari sebuah kisah biasa. Dari hura-hara manusia yang wajib bertemu di persimpangan. Kau dan aku pun berpapasan, saling bertukar nama. Sebatas itu awalnya. Aku hanya tahu sebatas namamu, tidak ada yang lain. Aku pun tak mau mencari tahu karena kupikir ini pertemuan yang biasa. Kita hanya akan disatukan sementara oleh sesuatu hal yang formal, bukan personal.
someplacewild.comWaktu-lah yang kemudian menjadi pembeda. Ia memberikan kesempatan kita lebih banyak, lebih lama, dan lebih dekat. Aku pun kini tak sekedar tahu namamu saja. Kau ternyata menggemari sepakbola, tak terlalu gemar membaca, dan amat mencintai kota. Tak hanya itu, aku pun mulai memperhatikanmu secara lebih dalam. Matamu warnanya coklat tua dan ada tahi lalat kecil di sudut bibir kananmu yang takkan terlalu nampak karena kumismu mulai tumbuh.
Kita juga sudah mulai berbagi cerita. Dari sebuah lelucon tak berharga hingga impian di masa depan. Aku pun sedikit kelimbungan karena kurasa, ini terlalu cepat. Seolah satu jam lalu aku baru tahu namamu, kini aku sudah tahu kau akan menikah di umur berapa. Aku pun mulai menerka-nerka tentang arti kita, apakah kau mulai mengirimkan tanda-tanda. Yang kutahu saat itu adalah kita saling mencari bila salah satu tak ada dan selalu berbagi jika duduk bersama.
Ada rasa nyaman yang tak terbantahkan kala kita duduk berhadapan. Senyumanmu hangat, tatapanmu lekat, dan aku merasa kita semakin rekat. Diam-diam, aku sudah menyiapkan ruang di sela-sela rongga dada. Ia kubangun dengan kesungguhan, dari material-material yang susah payah kukumpulkan, kupilah-pilah untuk satu yang terindah. Harapanku hanya satu: agar kau mau singgah dan bertahan.
Tak kusangka, kau pun mau rutin menengoknya. Bahkan kadang kau berlama-lama di sana. Aku pun mengartikan bahwa kurasa kau telah pulang. Kau sudah anggap ini rumah. Ternyata tidak. Aku seperti tempat-tempat pemberhentian tadi. Dari pelabuhan hingga bandara. Satu tempat yang jelas akan kau singgahi menuju jalan pulang. Namun ia jelas bukan tujuan utamamu.
Yang kaucari adalah rumah, pemberhentian terakhir. Dan kau tak menganggap aku itu. Aku hanya satu tempat pemberhentian yang harus kau lewati. Kau memang nyaman berada di sana karena mungkin ia membuatmu seperti menjadi bagian dari kehidupan. Namun tujuanmu tetap satu: pulang menuju rumah.
Dan saat kau beranjak, ruang yang kubangun sejak dahulu itu pun ikut luruh seketika. Aku menjelma sebagai tempat yang kau inginkan. Satu dari sekian pemberhentian ke sekian dengan lalu-lalang dan keramaian. Kau tetap singgah namun kau tak pernah bertahan.
0 Response to " Terima Kasih Telah Singgah, Meskipun Aku Tak Pernah Kau Jadikan Rumah "
Posting Komentar