"Inikah kemanusiaan itu?"
Jika saya bilang, anak-anak itu sudah sepantasnya berbahagia, menikmati masa kecilnya untuk tumbuh dan berkembang, apakah kamu setuju? Jika saya bilang, anak-anak itu lebih baik bermain dan belajar, apakah kamu setuju? Jika saya bilang, anak-anak itu nggak usah berpikir soal kerja, apakah kamu setuju?
Sebagian besar dari kamu pasti menjawab tiga pertanyaan tersebut dengan jawaban setuju dalam hati. Kamu, mungkin, punya masa kanak-kanak yang begitu indah...begitu membahagiakan, sampai-sampai kamu masih ingat kue ulang tahunmu di umur lima tahun. Begitu lucu. Kamu masih punya mainan bekas di masa kecilmu yang membantumu tumbuh dan berkembang menjadi seseorang yang cerdas. Bersyukurlah.
Sayangnya, fakta berbicara berbeda. Di luar sana tetap ada anak yang harus membanting tulang, memeras keringat demi menjalani kerasnya hidup ini. Dan fakta ini...sulit untuk diabaikan.
Bocah ini mencari plastik bekas di tumpukan sampah Siem Reap, Kambodia.
Sejumlah anak kecil bekerja, mengepak rokok di Haragach, distrik Rangpur, Banglasdesh.
Tebak berapa usianya? 10 tahun dan bekerja di pabrik senjata milik Free Syrian Army, Aleppo.
Mungkin masih ingusan, namun dia harus bekerja dengan sampah di Islamabad, Pakistan.
Di pinggiran Herat, Afganistan, anak ini harus menata batu bata tersebut...dan sekian banyak!
Rustam, 10 tahun. Bersama dengan 25 anak lainnya, diaharus bekerja 12 jam perharinya di pabrik aluminium di Dhaka, Bangladesh.
Lokasi: Mae Sot, Thailand. Objek: seorang anak kecil, imigran gelap.
Di usianya yang cuma tujuh tahun, Hazrat harus membanting tulang di pabrik batu bata.
Personally, ini foto paling mengena bagi saya. Tidakkah kamu melihat guratan kejamnya dunia di raut wajahnya? Czoton, tujuh tahun dan harus bekerja di pabrik balon di Dhaka, Bangladesh.
Satu dari enam juta anak yang jadi budak di Bangladesh. Mereka bahkan di bawah umur 14 tahun.
Bahkan di umur empat tahun, anak satu ini sudah dipekerjakan.
Tak pandang bulu. Entah laki, entah perempuan. Mereka harus...bekerja.
Semua itu untuk sekadar bertahan hidup di panggung dunia ini.
Entah, ini pantas disebut sebagai bekerja... Atau...
Atau... Lebih pantas disebut sebagai perbudakan?
Diambil pada tanggal 16 April 2011 di Bukit Janitia, India. Orang tua di daerah setempat memilih memperkerjakan anak-anaknya ketimbang menyekolahkannya. Padahal mereka dibebaskan biaya pendidikan.
Tapi hidup terus berjalan dan mereka harus tetap bertahan dengan kerasnya kehidupan.
Dan ajaibnya, mereka selalu menemukan jalan untuk melewati itu semua...bahkan tak mengeluh. Andai perbudakan dapat dihapuskan... Andai...
0 Response to " Pantaskah Kamu Mengeluh di Saat Mereka Bekerja Keras untuk Hidup? "
Posting Komentar