Lelaki tua itu melaju pelan. Menyusur tepian aspal jalan. Tangan kanan memegang tongkat. Meraba tanah. Di kiri, sebuah besi penopang badan terkempit, membantunya berjalan.
Di leher, terkalung tulisan “Jual Kerupuk”. Nyaris tertutup keranjang plastik di depan dada. Punggung kakek bertubuh mungil itu juga tak sepi. Beberapa bungkus kerupuk dia gendong di sana.
Dia adalah penjual kerupuk di Ciputat, Tangerang Selatan. Saya menemuinya pekan lalu. Saat hendak pulang ke Yogyakarta, setelah mengikuti Semifinal Dream Girls 2015 di Jakarta. Hanya satu kata terlontar dari bibirku: “Subhanallah.”
Ya, hanya kalimat itu yang terucap. Saya kagum melihat kakek itu. Meski mengalami cacat ganda, buta dan kaki yang tak lagi sempurna, masih tetap menyimpan bara asa. Tak menyerah, berusaha survive di tengah kerasnya hidup kota.
Lihatlah kulitnya. Legam terbakar matahari. Peluhnya mengalir deras. Bak baju diperas dari pencucian. Sungguh membuat saya malu dan takjub melihat kebesaran Tuhan yang luar biasa ini.
Rasa kagum itu menuntun kakiku untuk menghampirinya. Dari loket bus itu, perlahan saya dekati dia. Pada saat itu, saya merasa sangat iba. Tidak banyak hal yang sempat saya tanyakan. Saya hanya sempat bertanya, “Harga kerupuk berapaan Pak?”
Raut muka ikhlas tampak jelas di wajah kakek itu. Dia tak peduli berapa orang akan membayar kerupuk yang dibeli. Dia percaya kepada semua pelanggan. Para pembeli hanya meletakkan uang di tas plastik yang juga terkalung di lehernya.
“Bagaimana Bapak mengetahui orang yang membeli dagangan Bapak berbohong atau tidak?” tanyaku. “Saya serahkan saja sama Allah Yang Kuasa, Mba. Karena jika ada orang yang menzalimi kita, kita tidak tahu, insya Allah, Allah yang akan membalasnya dengan yang lebih baik,” jawab dia.
Perjuangan kakek ini sungguh luar biasa. Bagi orang yang tak memiliki kekurangan fisik, berjalan di bawah tikaman matahari sangatlah melelahkan. Apalagi buat kakek ini, yang tak bisa melihat dan juga pincang.
Rasa penasaran terus mengalir di benak. Saya pun kembali menyodorkan tanya, “Bapak setiap hari harus berjalan sampai mana?” Dan saya terkejut mendengar jawaban kakek itu. “Saya berjalan sampai kerupuk jualan saya habis, Mbak,” katanya.
Dalam hati, saya trenyuh. Masya Allah, sungguh sedih. Bagaimna jika kerupuk itu tidak laku-laku. Tak terbayang berapa kilometer beliau harus berjalan menyusuri panas dan ramainya Kota Ciputat.
Namun, selain sedih, ada rasa kagum yang terselip di hati ini. Mungkin sudah banyak di luar sana para difabel yang berjualan kerupuk atau melakukan usaha lainya. Tapi ketika difabel yang mengalami keterbatasan fisik ganda itu masih jarang saya lihat.
Apalagi dengan usaha beliau berjalan kaki, hal yang cukup sulit bagi beliau. Karena tidak hanya mengalami kesulitan berjalan, namun juga beliau adalah seorang tuna netra.
Sungguh pengalaman yang sangat mengiapirasi saya. Kecacatan fisik ternyata tidak menghalangi seseorang untuk memiliki keutuhan. Malah sebaliknya, terkadang orang-orang yang punya fisik utuh memiliki cacat mental, karena tidak kuat menghadapi badai yang menerpa di kehidupan ini.
Semoga kisah yang saya bagi bisa bermanfaat dan menginspirasi bagi sahabat semua ya. Mari introspeksi diri kita masing-masing. Sudahkah kita sekuat mereka yang tak seberuntung kita? Sudahkah kita bersyukur sehingga tidak ada rasa iri hati atau membanding-bandingkan dengan kondisi orang lain dengan motif yang negati?
Appun keadaan kita, di manapun musim kita berada, dan appun tantangan yang sedang kita hadapi, dengan fisik dan mental yang utuh kita sanggup melaluinya dengan rasa syukur dan mendapat tuntunan dari Sang Illahi.
Mari sama-sama kita do'akan semoga kakek itu selalu diberi kesehatan, kelancaran dalam usahanya, kekuatan dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Terta Mayasari, Dream Girls 2015
0 Response to " `Tukang Kerupuk Buta Itu Membuatku Malu` "
Posting Komentar