KISAH SENDU SEORANG ISTRI



Pagi masih di selimuti kabut dingin berwarna putih. Di kejauhan nampak seorang nenek berjalan tertatih menggendong seorang bayi.  Di sampingnya berjalan dua bocah kecil berusia empat dan tiga tahun. Nampak ketiga bocah itu belum mandi, rambutnya kusut dan bajunya lusuh. Terdengar rintihan lirih dari bayi yang digendong, rupanya dia demam tinggi sejak tadi malam. Kedua bocah merengek minta jajan, keduanya sudah kelaparan dari tadi subuh. Kedua bocah itu menarik-narik tangan sang nenek yang renta.
            “ Mau jajan, mau jajan… “ rengek bocah perempuan sambil menarik tangan sang nenek.
            “ Iya sebentar warungnya belum buka, “ jawab sang nenek lembut atau lebih tepatnya lemah. Badannya mulai terasa demam karena semalaman kurang tidur, hampir sepanjang malam menggendong si bayi yang sakit. Kedua bocah itu mengetuk-ngetuk pintu si empunya warung, mereka sudah tidak sabar ingin membeli jajanan. Tak lama kemudian warung pun dibuka, keduanya berebut memilih makanan kesukaannya. Sang nenek pun sibuk mengambil makanan dari tangan cucunya.
            “ ambilnya satu-satu saja, uangnya ngga cukup, “ kedua bocah pasrah pada sang nenek, akhirnya mereka pun menikmati makanannya.
            “ Beginilah neng repot ngurus anak-anak kecil, mana badan emak sudah tidak kuat seperti dulu. “ Mak Ayi begitu biasa aku menyebutnya, membuka pembicaraan denganku yang sejak tadi mengamati mereka berempat. Kuusap rambut bayi yang terlelap dalam gendongannya, terasa keningnya masih panas.
            Kupandangi wajah mak Ayi yang sudah dipenuhi kerutan, dia tetangga ibuku yang sudah kukenal sejak kecil. Waktu masih kecil aku sering main di rumahnya dan membantu membungkus jualannya. Aku sering mendapat upah dari mak Ayi dan suaminya.

Putri ke lima mak Ayi seorang perempuan, sifatnya agak berbeda dengan kakak-kakaknya. Dia agak keras kepala dan pemberani. Putri bungsu mak Ayi inilah yang punya kisah tragis, dia ibu dari tiga bocah kecil tadi.
“ Mak mau lagi, mau lagi, “ terdengar teriakan yang diiringi tangisan dari bocah lelaki berusia empat tahun itu. Dia menarik-narik tangan mak Ayi yang sempoyongan menahan keseimbangan badannya.
“ Uangnya habis jang, “ mak Ayi berusaha membujuk cucunya yang histeris, namun sia-sia sang cucu terlanjur histeris.
“ Mak ini untuk jajan anak-anak, “ aku menyodorkan uang dua puluh ribuan. Belum sempat mak Ayi ngambil, uang itu disamber sang bocah yang mendadak berhenti nangisnya. Dia langsung berlari mendekati warung disusul adik perempuannya. Mereka memborong makanan yang disukainya dan kembali asyik memakannya. Perih sekali hati ini melihat mereka yang kelaparan, harusnya mereka makan nasi biar kenyang. Tapi kata mak Ayi anak-anak itu lebih senang jajan daripada makan.
“ Beginilah Neng nasib Emak, sehari-hari repot ngurus mereka, “ katanya sambil mengusap wajahnya dengan ujung jarit.
“ Kalau bukan Emak siapa lagi yang mau mengurus mereka ? “ lanjut mak Ayi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“ Bapanya kemana Mak ? “ tanyaku memberanikan diri.
“ Sekali-kali Dia suka datang, ngasih uang buat jajan tapi tidak tiap hari. Emak enggak tega memberikan anak-anak sama dia, takut terlantar. “ Mak Ayi menarik nafasnya dalam-dalam seolah ingin menghapus gundah.
“ Dia bukan suami yang baik Neng, apalagi bapa yang baik, “ tutur mak Ayi pelan.
“ Anak Emak yang salah pilih, kenapa milih suami berandal begitu. “ Aku diam mendengar penuturan mak Ayi.
“Selama menikah dengan dia, Aan tidak pernah bahagia. Sering sekali mereka cekcok dan berantem. “ Mak Ayi kembali mengusap wajahnya dengan ujung jarit lusuhnya.
“ Bukan tambah baik, setelah menikah Aan tambah rusak. Sering diajak mabuk-mabukan.” Mak Ayi melanjutkan ceritanya dengan nelangsa, semilir anging dingin yang menyapu wajahnya tak sanggup menyejukan batinnya.
“ Yang lebih membuat hati Emak perih, tega-teganya dia menjual Aan sama lelaki lain. “ Deg jantungku terasa berhenti, mendengar alunan suara mak Ayi yang ibarat sembilu menyayat hatiku. Aku pernah mendengar kasak-kusuk tentang cerita Aan dari beberapa tetangga. Tapi kuanggap hanya gossip murahan,
Suami Aan tidak jelas dari mana asalnya, mereka berkenalan di terminal dan akhirnya merajut cinta sampai membuahkan benih. Lelaki durjana itu mau melarikan diri begitu tahu Aan berbadan dua. Tapi untungnya salah seorang kerabat Aan mencegahnya dan memaksanya untuk menikahi Aan. Cerita kelam mereka tidak sampai disitu. Setelah menikah dan melahirkan bayi perempuan, Aan sering dipaksa dijual pada laki-laki hidung belang. Bahkan ketika baru selesai nifas pasca melahirkan anak bungsunya Aan dijual pada turis Timur Tengah yang kerap berkunjung ke daerah wisata di kampungku.  Setelah itu Aan pun jatuh sakit, badannya menggigil. Sejak saat itulah Aan sering menolak ajakan suaminya untuk ‘dijajakan’. Cerita ini menjadi rahasia umum, semua orang sekampung sudah tahu. Banyak sudah yang menasehati mereka, tapi dianggap angin lalu.
“Mungkin Aan memang lebih baik mati saja, Neng, daripada hidup terus berbuat dosa dan terus menerus disiksa suaminya.“  Tutur mak Ayi dengan linangan air mata yang tidak sanggup dibendungnya lagi.
“ Dua bulan sebelum meninggal Aan disiksa suaminya habis-habisan, Emak dan Abah tidak bisa menolong karena takut sama suaminya yang kalap. Aan sempat ditendang ulu hatinya, dicekik dan ditampar. “ Aku semakin tergugu mendengar cerita ini, seperti bukan kisah nyata laksana kisah sinetron saja.
“ Dari yang Emak dengar dari mulut Aan, dia tidak mau dijual lagi sudah cape dan malu.”
“ Penolakan Aan itulah yang membangkitkan amarah suaminya, Dia seperti kesetanan menghajar Aan di depan mata anak-anaknya sendiri.“ Air mata mak Ayi semakin tidak terbendung, hatinya hancur berkeping-keping.
“Sejak saat itu Aan sering  mengeluh sakit perutnya dan sejak saat itu lelaki bejat itu pergi entah kemana. Mereka akhirnya bercerai.“ Mak Ayi menghapus butir-butir bening di pipinya dengan ujung jaritnya.
Aan gadis belia yang pernah menjadi muridku begitu dramatis kehidupannya. Anak lugu  dibajak zaman yang semakin edan, yang siap menerkam dan melumat siapa saja yang lengah. Masih terbayang wajahnya yang manis  berbalut kerudung putih pemberianku, mengeja huruf demi huruf kalam Illahi. Mulut mungilnya fasih melantunkan do’a-do’a yang diwariskan Baginda Nabi. Pengalaman masa kecil yang indah, belajar ngaji di surau kecil tak mampu menjadi benteng teguh menghadapi serbuan zaman. Dia terseret pergaulan kelam yang membenamkannya pada lumpur hitam kehidupan. Tak ada yang sanggup menolongnya, termasuk kedua orang tuanya yang sudah renta. Hidupnya berakhir dramatis dengan masih meninggalkan aneka cerita yang akan dilakoni ketiga buah hatinya. Bocah malang yang menjadi saksi kelamnya kehidupan sang bunda. Bocah malang yang tak bisa merasakan hangatnya pelukan orang tua. Bocah nan malang yang harus menjadi piatu, kehilangan sang bunda yang sangat dibutuhkannya.

0 Response to " KISAH SENDU SEORANG ISTRI "

Posting Komentar