Saat sekolah dasar, kita sering menemui banyak penjual jajanan diluar pagar sekolah. Dari dulu hingga kini, pedagang penjaja makanan kecil itu masih tetap lestari, tidak ada perubahan. Berbagai variasi jajanan ada disana mulai dari es hingga makanan mie.
Anak-anak tentu menyukai kehadiran mereka. Bagi Anda yang belajar di sekolah dimana para siswanya tidak boleh keluar lingkungan sekolah tentu tidak akan pernah melihat para pedagang tersebut. Mungkin sebagian bahkan memandang sebelah mata kepada mereka. Berburuk sangka akan dagangannya yang tidak sehat. Memang ada yang demikian, tapi tidak sedikit dari mereka yang benar-benar niat berjualan untuk mencari nafkah halal.
Seperti sesosok kakek tua bernama Ajok ini. Ia mencoba mencari nafkah dengan cara berjualan basreng di sekolah-sekolah. Saat jam sekolah telah berakhir, ia tetap melanjutkan habiskan dagangannya dengan keliling kampung. Semenjak pagi hingga petang, Ajok memikul gerobaknya selama 12 jam. Simak kisah pilu kakek penjual basreng dalam rantau selengkapnya.
Sehari Untung Bersih 20 Ribu
Seharian keliling menjajakan basreng, dagangannya tidak selalu habis terjual. Jika semua ludes, pendapatannya bisa mencapai 100 ribu per hari. Namun, uang sebesar itu bukan sepenuhnya milik kakek Ajok. Ia harus membaginya kepada teman satu kontrakannya, Qodir.
Kakek Ajok bekerjasama dengan Qodir dalam menjual basreng. Qodir bertugas membuat basreng dan menyediakan gerobak, sementara Ajok menyiapkan bahan operasional seperti minyak goreng dan saos untuk kemudian menjualnya. Pembagiannya fifty-fifty, artinya jika basreng Ajok habis berarti ia dapat 50 ribu sehari.
Tapi, uang lima puluh ribu rupiah yang ia dapat harus dipotong untuk belanja bahan operasional seperti minyak goreng dan semacamnya. Sehingga ia hanya memperoleh laba bersih 20 ribu perhari. Keuntungan itu ia dapat jika barang dagangannya ludes.
“Uangnya dibagi, biasanya dapatnya Rp 50 ribu satu orang. Saya dapat Rp 50 ribu belum buat belanja kebutuhan lain seperti minyak, saos dan membeli makanan siang dan malam. Paling untung bersih hanya Rp 20 ribu perhari,” tuturnya.
Meskipun begitu, Ajok tetap mensyukuri apa yang ia dapatkan sehari-hari. Uang tersebut disimpannya untuk tabungan dan dikirimkan ke kampung.
Rutin Kirimi Istri 100 Ribu Tiap bulan
Keringat Ajok memikul gerobak basreng dengan jalan kaki setiap hari ternyata tak lain ia lakukan demi menafkahi keluarganya dengan uang halal. Daripada mengemis, Ajok lebih memilih merantau ke Jakarta dan berdagang. Sebab di kampung, ia tidak memiliki pekerjaan tetap.
Kakek penjual basreng itu rela meninggalkan istrinya Siti Fatimah di Subang, kampung halamannya. Akan tetapi kakek Ajok tidak pernah melupakan istri dan keluarganya di Subang. Terbukti, ia selalu rutin mengirimkan uang kepada istrinya sebesar 100 ribu setiap bulannya. Uang seratus ribu tersebut termasuk jumlah yang besar baginya.
“Saya hanya bisa ngasih setiap bulannya Rp 100 ribu. Itu untuk kebutuhan istri saya satu bulan,” jelasnya.
Sadar betul hidup di rantau membutuhkan biaya besar, Ajok harus pandai berhemat. Untuk makan, ia mencari warung yang menjual dengan harga murah. Alhamdulillah ada warung langganannya yang mengerti keadaan Ajok, di sana ia bisa mendapatkan nasi dengan lauk telur, tempe dan sayur hanya 4 ribu rupiah saja.
Mengenai kesehatan, Ajok juga bersyukur karena sakit yang ia derita hanya pegal-pegal saja. Ketidakmampuannya berobat ke rumah sakit, jika sakit ia mengaku hanya minum kopi dan membeli obat di warung. Sebab kartu jaminan kesehatan pun ia tak punya. Kakek Ajok selalu bersyukur, kesehatannya tetap terjaga.
Kisah pilu kakek penjual basreng ini seharusnya membuat mata kita terbuka lebih lebar bahwa masih banyak orang yang lebih tidak mampu daripada kita tapi tetap bekerja keras. Pelajaran berharga juga bisa kita ambil dari sang istri yang selalu tidak mengeluh meski hanya diberi 100 ribu setiap bulan. Jumlah tersebut mungkin tidak ada 10 persennya dari uang belanja Anda setiap bulan.
0 Response to " Kisah Pilu Kakek Penjual Basreng dalam Rantau "
Posting Komentar