MUAMERA, usianya saat ini 21 tahun. Ia berasal dari Bosnia Herzegovina namun untuk meraih gelar dokter, ia sekarang tinggal di Amerika Serikat. Berikut adalah penuturannya soal pengalaman kawin mut’ah.
“Waktu itu saya berusia 20 tahun. Cerita saya dimulai dengan seorang pria yang saya temui secara online dan kami jatuh cinta begitu cepatnya. Kami berbicara tentang pernikahan dan memiliki keluarga sejak awal . Dia berbicara kepada saya tentang Islam setiap hari, dan bahkan sampau sekarang pun masih begitu, dia telah mengajarkan saya semua yang saya tahu tentang Islam.
Saya jatuh cinta terhadap pengetahuannya hari demi hari dan hubungan kami berkembang terus. Saya memutuskan untuk mulai shalat dan mengenakan jilbab, dan saya mengubah segalanya tentang diri saya sendiri.
Setahun kemudian setelah pertemuan kami di internet, dia meyakinkan saya untuk melakukan kawin mu’tah. Setelah kami mengucapkan akad kecil, dia mengatakan bahwa kami sudah menikah. Saya tidak pernah berpikir untuk mempertanyakan nasihatnya itu, saya hanya mendengarkan dan taat, seperti selama ini saya diberitahu. Saya terus menduga terhadapnya selama kami bersama-sama sampai saya kemudian saya mendapati foto foto wanita telanjang di imelnya.
Dia mengatakan itu hanya teman-temannya saja. Ternyata, ia telah selingkuh, dan saya mengatakan kepadanya bahwa saya ingin meninggalkan dia. Saya kembali ke rumah ibu saya, namun kemudian saya baru sadar bahwa saya hamil. Setelah beberapa waktu, dia meyakinkan saya untuk memaafkan perselingkuhannya itu sehingga kami bisa membesarkan anak kami secara bersama-sama. Saya setuju.
Ketika kandungan saya berusia tujuh bulan, seorang sahabat saya memberitahukan saya bahwa Mu’tah bukanlah pernikahan yang diterima lagi dalam islam, dan bahwa dengan Mu’tah, seorang anak tidak bisa dideteksi anak siapa. Saya menangis, janin di perut saya mempunyai seorang ayah, seorang lelaki yang telah tidur dengan saya.
Ketika saya bertanya pada suami mut’ah saya saya harus prihatin karena ternyata ia hanya mengatakan bahwa hanya Mu’tah itu diperbolehkan dalam Islam. Kami terus berargumen selama berbulan-bulan dan saya minta kepadanya untuk menikah lagi di masjid.
Dia berjanji kepada saya dan terus berjanji, bahwa dia akan menikahi saya di masjid jika saya sudah melahirkan jabang bayi dan bentuk tubuh saya kembali semula.
Sekarang bayi saya sudah berumur hampir 5 bulan dan ia masih belum meminta saya soal pernikahan. Ketika saya bertanya kepadanya dua bulan setelah anak saya lahir, ia mengatakan tidak. Kemudian saya bertanya lagi beberapa minggu lalu dan ia mengatakan bahwa ia akan menikahi saya setelah saya menyelesaikan kuliah (jadi dia tidak harus membiayi sekolah saya). Tetapi saya mengatakan kepadanya bahwa jika kami menikah di masjid maka dia tidak perlu menikah secara legal di Amerika Serikat dan kemudian diwajibkan untuk membiayai kuliah saya, namun ia masih mengatakan tidak.
Setiap kali saya bertanya tentang pernikahan, dia memberikan alasan. Saya terus ditolak berkali-kali dan saya menjadi patah hati. Hari-hari ini, setiap saya bangun tidur, saya menyadari bahwa saya melakukan dosa tidur dengan seorang pria, berbicara kepada seorang pria dan memiliki anak dari seorang pria yang secara hukum saya tidak menikah dengannya.
Jika dia mencintai saya, dan ia seorang pria Muslim seperti yang selalu ia akui, mengapa ia tidak mau menikah dengan saya? Kami memiliki anak bersama-sama, dan bayi ini harus dibesarkan di sebuah rumah Islam dengan semua hal yang tepat untuk menjadikan ia seorang Muslim yang baik ketika ia tumbuh. Apa yang akan dipahami oleh anak kami itu jika kami melanggar aturan dan pedoman dari Allah karena ayahnya?
Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan kepada anak kami nanti. Atau bagaimana berharap Allah akan mengampuni saya di hari penghakiman nanti. Saya telah melanggar setiap aturan dengan pria ini dan saya merasa sengsara akan hal itu. Saya pikir orang ini membimbing saya ke tempat yang lebih baik, tetapi tampaknya ia mendamparkan di tempat yang tidak ia ketahui sendiri, dan membiarkan saya mencarinya sendiri.”
0 Response to " Kisah Nyata Kawin Mut’ah: Nestapa dalam Kebohongan "
Posting Komentar