Memiliki anak yang memasuki usia remaja awal atau ABG sering membuat orang tua kewalahan.
Anak tidak ingin dianggap kecil, tetapi juga belum bisa disebut remaja. Perubahan fisik juga membuat mereka kewalahan.
Yang umum terjadi, anak menjadi sulit diajak berkomunikasi.
Mereka lebih bahagia ketika memegang smartphone dan berinteraksi dengan teman-temannya. Orang tua menjadi sosok di luar lingkaran.
Yang dikhawatirkan, saat anak diingatkan untuk tidak salah bergaul, justru itu memicu pertengkaran dengan anak karena anak merasa dikekang. Akibatnya, mereka justru mencuri-curi kesempatan.
Masa ABG adalah masa transisi dari kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa transisi ini, anak tidak mau lagi dianggap sebagai si kecil.
Maka ia yang biasanya penurut, sekarang tidak suka bila diperintah. Ia ingin dianggap sebagai orang dewasa.
Namun ia belum benar-benar dewasa, sehingga ia belum siap untuk menerima tanggung jawab sebagai pribadi yang mandiri.
Maka ketika menghadapi masalah, ia akan kembali mencari bantuan dan rasa aman, yang biasanya diperoleh dari orang tua nya.
Menurut Yettie Wandansari, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, masa ABG ditandai dengan perubahan secara fisik, antara lain menstruasi dan berubahnya bentuk badan pada anak perempuan, serta munculnya jakun dan kumis ditambah dengan pecahnya suara pada anak laki-laki.
Seiring perubahan fisik ini, aktifnya hormon membuat si ABG akan mulai merasa tertarik dengan lawan jenis.
"Secara kognitif, anak mulai memiliki kemampuan untuk membuat perencanaan dan memahami konsep-konsep yang rumit. Anak juga menunjukkan kebutuhan untuk mandiri atau otonom. Ia tidak mau lagi diantar orang tua, karena malu bila dilihat teman-temannya," kata Yettie.
Bagi ABG, teman adalah hal yang sangat penting. Mereka akan berkelompok dan membentuk geng, tampil serupa dengan cara mengenakan baju yang mirip atau model rambut yang sama, atau melakukan aktivitas bersama.
Anak akan melakukan apapun demi tetap diterima oleh teman-temannya, termasuk bila untuk itu ia harus berbeda pendapat dengan orang tua nya.
"Sayangnya, emosi anak belum stabil. Walau secara rasional ia tahu tindakan yang baik dan mana tindakan yang buruk, tetapi hal ini tidak selalu berjalan selaras dengan emosinya," tambahnya.
Emosi ABG dapat meledak-ledak ketika menghadapi masalah kecil. Rasio dan emosi sering tidak sinkron. Belum lagi kuatnya pengaruh dari teman sebaya.
Akibatnya, anak kerap mengambil keputusan yang salah karena tidak memikirkan dan mengantisipasi dampak atau risiko jangka panjangnya.
Langkah pencegahan yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan menjadi sahabat terbaik dan tepercaya.
Hal itu dapat dimulai dengan membangun komunikasi yang terbuka, hangat, dan bersifat dialogis. Ini sebagai jembatan bagi orang tua untuk masuk ke dalam dunia mereka.
Dengan komunikasi yang baik, anak menjadi terbuka pada kritik dan saran, sehingga orang tua dapat membantu anak untuk belajar mengambil keputusan secara matang dan belajar bertanggung jawab atas keputusan yang sudah diambil.
Pada dasarnya remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, ingin didengarkan dan dianggap penting.
0 Response to " Kewalahan Hadapi Emosi ABG yang Sering Meledak-ledak? Jadilah Sahabat Terbaiknya! "
Posting Komentar