Antara Aku, Kau, dan Perasaan Kita yang Tak Tahu Akan Dibawa ke Mana

Awalnya aku sendiri tidak begitu mengerti  kepada hati,
Mengapa rasa ini datang begitu saja tanpa aku ingini

Kamu, ya kamu. Di awal kita berjumpa rasanya biasa saja. Betul, aku mengerti dan sungguh mengetahui, bahwa kamu cantik, tapi ya cantik yang itu-itu saja. Tidak ada rasa, ah salah, mungkin lebih tepatnya belum ada rasa.

Bila aku terpesona karena kau pintar dan cerdas, itu tidak mungkin. Sebagaimana aku, kaupun tak terlalu pintar.

Bila aku terpesona karena kau begitu baik, itu tidak mungkin. Sekali saja kau belum pernah membantu meringankan beban hidupku.

Lalu aku suka kau karena apa?

Saat sang waktu terus saja berjalan tanpa pernah aku sadari. Rasanya ini waktu yang tepat untuk bergerak memperjuangkan kau. Terlebih setelah aku tahu kau sedang sendiri.
Aku mulai ya. Mulai memperjuangkan kamu. Sesuatu yang sebenarnya aku enggan untuk lakukan.
Awalnya berat, sangat berat. Kau tak menanggapi pesanku. Bahkan kau “read” pun tidak. Sedih sih, tapi tak apa soalnya dulupun aku pernah dibeginikan.
1001 jurus aku keluarkan, tak kurang perhatian.
Kau yang sedang sakit, tak memberi ijin bagiku tuk menjenguk. Kau tahu? Aku cuma mau tahu bagaimana kondisimu. Sesakit apa deritamu? Mengapa infus itu begitu kejam menghujam kulitmu? Kapan kau sembuh? Barangkali aku bisa ikut bersukacita menyambut kembalinya kesehatanmu. Tapi sekali lagi, itu percuma. Melalui kamu, rupanya Tuhan ingin aku lebih giat lagi memperjuangkan dirimu.
Lalu aku bergerak lagi, bergerak memberi secercah perhatian yang semuanya tak mempan.
Sang waktu terus berputar, hingga..
Pada satu Jumat, aku gembira kita bertemu. Aku sapa saja ya, siapa tahu kau ikhlas melempar senyum kepadaku. Tapi nyatanya tidak, kau pandang wajahku saja tidak.
Apa yang salah? Sejijik itu itukah kau terhadap aku?
Benar kata orang yang bilang bahwa airmata pria itu mahal
Airmataku mahal lho.
Kala itu Jumat mendung, aku duduk beralas sajadah, di hadapan Tuhan. Aku menangis, aku salah apa?
Kau tau aku bukan buaya, dan kau tau juga kalau buaya tak bisa keluar airmatanya
Detik itu, saat itu. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa semua usahaku akan berakhir percuma
Tidak, aku tak berlebihan

Dalam kamus pendekatan tidak boleh ada cinta

Tapi aku sudah cinta, dan itulah kesalahanku.

Kau, entah kenapa aku selalu saja menyelipkan namamu dalam tiap untaian doaku
Aku selalu berdoa supaya kau bahagia. Aku juga percaya bahwa kau telah berdosa kepadaku, tapi sepanjang itulah aku berusaha meyakinkan Tuhan agar Ia sudi menghapus dosa kesalahanmu.
Kini, doaku mulai terjawab pelan-pelan
Tuhan berbaik hati menjawabnya melalui waktu
Ya, mungkin saja, dia bosan dengar doa yang itu-itu saja.
Kau tahu? Sebelumnya  aku selalu berdoa kepadaNya supaya diberi jalan terbaik. Jalan dimana mungkin kita akan bersimpangan, tapi yang jelas tujuannya bahagia. Bukan bahagia kita, tapi bahagiamu sendiri dan bahagiaku sendiri
Sekarang aku lebih ikhlas, sekarang aku lebih rela dan siap bila datang satu waktu dimana kau benar-benar tidak peduli akan hadirku
Bodoh ya?
Mengapa aku baru sadar bahwa kau terlalu jauh untuk kugapai
Mungkin sesekali kau pernah kepikiran akan diriku, mungkin saja dengan segala kelakuanmu itu kau berharap agar aku bisa cepat menyerah, benar kan?
Tenang saja, kau tak perlu memaksaku untuk segera hilang dari hadapanmu, aku tahu kok caranya pergi, aku juga tahu bagaimana caranya ikhlas.

Bila ingin lari, lari saja terus

Hanya,

Jika kau lelah, lalu menengok ke belakang

Aku pasti tidak ada

Kau terlalu asyik berlari hingga kau tak menyadari

Aku sudah berhenti mengejar

Sejak lama.

0 Response to " Antara Aku, Kau, dan Perasaan Kita yang Tak Tahu Akan Dibawa ke Mana "

Posting Komentar